http://www.blogger.com/html?blogID=5248118097799647105 dr. Padjadjaran: Dokter: Pengabdian atau Uang?

Yang Mengelola blog ini:

pengabdian kepada masyarakat fakultas kedokteran universitas padjadjaran

Get The Latest News

Sign up to receive latest news

30.10.09

Dokter: Pengabdian atau Uang?

Pemandangan yang biasa di sebuah rumat sakit swasta terbesar. Puluhan orang berpakaian rapi sudah menunggu di depan ruang praktik dokter X, menunggu saatnya diizinkan bertemu dan berkonsultasi dengan dokter tersebut. Mereka bukanlah pasien yang menunggu antrian periksa dokter tersebut, tetapi mereka adalah calo-calo obat (biasa disebut dengan medical representative) dari berbagai perusahaan di negeri ini. Ya, seperti itulah gambaran salah satu cara delivery obat-obatan kepada konsumen melalui dokter. Mengapa dokter menjadi primadona produsen obat? Karena ditangan dokter lah resep terhadap pasien ditentukan. Dokter menjadi aktor utama yang mengetok palu terakhir perihal obat-obat apa saja yang akan di konsumsi oleh pasien. Otomatis, ada celah komersialisasi dalam proses komunikasi ini. Dan yang paling berkepentingan terhadap fenomena ini adalah para produsen obat. Bisa saja, banyaknya keuntungan penjualan obat tersebut diraup di atas penderitaan orang lain, karena dalam penyimpangan etika seperti ini yang paling dirugikan adalah pasien sebagai konsumen pelayanan jasa kesehatan.

Atmosfer pelayanan kesehatan yang demikian parah memunculkan satu konsekuensi terhadap perubahan perilaku dokter atau pelayan kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ada dokter yang hanya memanfaatkan segi komersiilnya saja atau ada juga dokter yang mengutamakan rasa humanismenya dalam mengabdikan kompetensinya kepada masyarakat luas. Yang jelas,orientasi dan paradigma berpikir seorang dokter dipengaruhi oleh beberapa factor. Salah satunya adalah aspek historis berupa biaya pendidikan yang mahal. Sebuah fakta empiris dalam survey yang dilakukan di Jakarta beberapa waktu yang lalu menyebutkan bahwa student unit cost pendidikan strata dokter adalah sebesar Rp. 15,5 juta per mahasiswa untuk satu semester saja. Sementara itu, kalau kita tilik lebih jauh lagi. Praktik-praktik liberalisasi pendidikan kedokteran kian mengakar kuat di berbagai instansi pendidikan di negeri ini. Lihat saja Fakultas Kedokteran Atmajaya, salah satu universitas swasta di Jakarta ini, mematok harga tiket masuk kuliah tidak kurang dari 75 juta rupiah. Begitu juga dengan beberapa universitas lainnya, seperti Trisakti yang mencantumkan biaya sumbangan masuk pendidikannya sebesar 75 – 100 juta rupiah. Jumlah yang besar itu baru memnuhi persyaratan sumbangan awal masuknya. Peserta didik masih dibebani biaya yang tidak sedikit untuk operasional pendidikannya, mulai dari SPP, BOP dan biaya praktikum. Dan nilai beberapa item tersebut tentu saja berbilang jutaan rupiah. Sementara itu, di beberapa instansi pendidikan pemerintah atau yang statusnya negeri rata-rata menetapkan biaya kuliah yang relatif lebih rendah dari universitas swasta. Oleh karena itu, banyak fakultas kedokteran negeri yang masih mampu mengakomodasi mahasiswa-mahasiswa dari kalangan ekonomi menengah kebawah dengan melalui program-program beasiswa yang di berikan.

Peta gambaran distribusi biaya pendidikan yang relatif tinggi ini tentu saja dapat menimbulkan sebuah kesan yang negatif mengenai track record seorang dokter di mata masyarakat. Walaupun tidak dapat dipungkiri mengenai rasionalisasi tentang begitu tingginya biaya yang dikeluarkan dalam proses pendidikan seorang dokter, diantaranya karena memang properti-properti yang dibutuhkan relatif mahal untuk didapat. Ilmu kedokteran berbeda dengan ilmu non eksakta yang tidak memerlukan bahan-bahan untuk praktik. Pendidikan kedokteran bahkan memerlukan tambahan fasilitas, seperti rumah sakit. Tetapi, perlu kita analisis juga mengenai terjadinya pergeseran orientasi pelaksanaan tugas seorang dokter. Dahulu, dokter dikenal dengan keramahtamahannya dan dikena sebagai seorang yang ringan tangan dalam memberikan pertolongan kepada siapapun. Sekarang, terjadi semacam degradasi nilai dari keberadaan seorang dokter. Banyak masyarakat yang mulai mencibir para dokter karena opini yang terbentuk adalah bahwa sebagian besar dokter saat ini cenderung lebih mengutamakan nilai komersialisasi dan uang dibanding dengan rasa tulus untuk menolong sesama.

Fenomena ini layak ditanggapi secara serius karena jangan sampai filosofi mulia pengabdian seorang dokter tersisihkan oleh beberapa distorsi perilaku yang lebih menjunjung tinggi rupiah dibandingkan dengan berkah atau rasa kemanusiaan. Ingatkah ketika Hipokrates mengucapkan sumpahnya dengan begitu tulus? Sebuah nilai yang patut untuk dipelihara dalam setiap aktivitas kemanusiaan, terutama pelayanan kesehatan kepada orang lain. Semoga dokter tetap menjadi seorang figur pengayom dan kader kesehatan yang humanis dalam masyarakat

0 Comments:

Post a Comment



Pengikut