http://www.blogger.com/html?blogID=5248118097799647105 dr. Padjadjaran: Maret 2009

Yang Mengelola blog ini:

pengabdian kepada masyarakat fakultas kedokteran universitas padjadjaran

Get The Latest News

Sign up to receive latest news

31.3.09

Manusia = Makhluk Pengabdi

Manusia? Makhluk pengabdi?Apa-apaan tuh? Benarkah itu? Gw ga terima dibilang pengabdi! Bagaimana dengan kodrat kita sebagai makhluk merdeka? Bagaimana dengan status kita? Bagaimana dengan derajat kita yang tinggi? Bagaimana dengan Tommy Soeharto (loh?)? Bagaimana dengan….STOP!

Sabar mas. Saya aja belum ngomong. Tulisan di bawah ini hanya pendapat saya pribadi tentang arti pengabdian dan hubungannya dengan manusia. Teman- teman boloh setuju atau tidak dengan pendapat saya, tapi yang penting, baca aja dulu : ].

Oke, menurut saya, pengabdian berarti hal- hal yang berhubungan dengan mengabdi. Sekumpulan sikap dan perbuatan yang dilakukan atas dasar mengabdi. Mengabdi sendiri menurut saya punya arti lebih dari sekadar ‘menjadi abdi’. Cara mengabdi yang baik memerlukan keinginan, pengabdian kita yang merdeka dan tulus membutuhkan keyakinan dan kepercayaan kita bahwa kita melakukan hal- hal tersebut untuk menyenangkan hati dan menyejahterakan siapa yang kita abdikan, dan kita menganggap ‘siapa’ itu memang pantas mendapatkan hal- hal tersebut dari kita.

Sebelum ada suara- suara menyatakan, “Kalau begitu saya manusia yang bukan makhluk pengabdi. Saya melakukan segala hal atas keinginan saya sendiri. Saya tidak peduli. Saya...bla…bla…bla”, mari kita lihat beberapa kegiatan sederhana yang sering kita lakukan sehari- hari.

Makan, minum, tidur, berolahraga, belajar, semua itu adalah kegiatan dasar yang sering kita lakukan. Terlihat biasa saja, kita melakukan hal2 itu karena kita ingin saja. Padahal, kalau kita lihat dengan high power field 100X, kita bisa melihat bahwa kegiatan2 tersebut merupakan bentuk pengabdian kita.
Kepada siapa? Kepada diri sendiri!

Sesuai dengan definisi saya tentang pengabdian di atas, kita melakukan kegiatan2 tersebut untuk menyenangkan hati kita sendiri dan menyejahterakan diri kita sendiri. Dan apakah kita pantas mendapatkan pengabdian dari diri kita sendiri? Tentu saja! Kita menganggap diri kita sendiri berharga, karena kalau tidak, siapa lagi yang mau menghargai kita? Ini sifat kita sebagai manusia, dan merupakan alasan yang kuat mengapa kita mau mengabdi kepada diri sendiri. Walaupun kita itu cerewet, banyak maunya, ingin makan terus, dan lain2 (no hard feelings, okay?), kita tetap mengabdi kepada diri kita, karena kita menganggap kita pantas mendapatkan itu. Hal inilah yang menyebabkan manusia sering kali ‘ngotot’ mempertahankan hidupnya yang serbasulit meskipun tampaknya sudah tidak ada harapan unuk memperbaiki kehidupan. Karena kita mengabdi kepada diri kita dengan sungguh- sungguh. Lihat, 1-0 untuk pengabdian. Benar kan bahwa manusia makhluk pengabdi?

“ Kalau begitu, kita manusia makhluk yang egois dong? Kita mengabdi kepada diri kita sendiri atas apapun yang kita lakukan?”

Tenang, bukan bererti kita makhluk yang self-oriented, karena sadar atau tidak sadar, kita sering melakukan bentuk pengabdian lain, yaitu….
Pengabdian kepada orang lain. Ini adalah suatu bentuk pengabdian yang bisa membuat si pengabdi selamanya akan dikenang pengabdiannya. Pengabdian jenis inilah yang membuat nama Nelson Mandela tercetak di setiap buku sejarah. Inilah yang menyebabkan ribuan orang menangisi kepergian Mahatma Gandhi, yang membuat wajah Ir. Soekarno tercetak di lembar 100 ribu-an, dan mengapa kisah kehidupan Florence Nightingale ada di ‘Seri Tokoh Besar Dunia’. Pengabdian kepada orang lain ini termasuk membahagiakan orang tua, menolong masyarakat, negara, pokoknya kepada makhluk lain selain diri kita sendiri. Dengan efeknya yang dapat menjadi sangat besar, apakah pengabdian kepada orang lain ini lebih sulit daripada pengabdian kepada diri sendiri? Mungkin, karena pengabdian kepada orang lain ini sering bertabrakan dengan pengabdian kepada diri sendiri. Kenapa? Karena kita mengorbankan kesenangan dan kesejahteraan kita demi kesenangan dan kesejahteraan orang lain. Misalnya kita mengorbankan waktu istirahat kita untuk menemani ibi berbelanja kita, memotong waktu belajar kita untuk rapat MedEx, bahkan mengorbankan uang makan kita selama 3 tahun untuk membelikan seorang pengemis pulpn Mont Blanc baru (yang menurut saya mulia tapi agak bodoh). Tentu bukan berarti kedua macam pengabdian ini selalu bertentangan, bahwa kita tidak bisa mengabdi kepada orang lain dan diri sendiri bersamaan (yang kalau memang tidak bisa, akan menciptakan sebuah dunia yang mengerikan, dengan satu kelompok orang yang melakukan segalanya demi orang lain, dan kelompok lain yang memanfaatkan segalanya untuk diri sendiri, seperti di film2 superhero). Beberapa contoh di bawah mungkin dapat memberikan inspirasi bahwa tidak sulit kok men-sinergiskan dua hal ini.

Contoh yang paling sering kita hadapi adalah ilmu. Mencari ilmu merupakan sesuatu yang unik dilihat dari sudut pandang pengabdian yang dilakukan manusia. Dengan belajar, menuntut ilmu, kita sedang mengabdi kepada diri kita sendiri, yaitu menyejahterakan diri sendiri karena ilmu yang diperoleh akan memudahkan kita untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri (contoh: ilmu facebook untuk kebutuhan komunikasi). Dilema terjadi setelah kita memperoleh ilmu tersebut. DI sini, ada 4 golongan yang bisa kita pilih.

Golongan pertama, mungkin kita bisa saja tidak memanfaatkan ilmu itu untuk kepentingan siapapun, dan melupakannya begitu saja. Sungguh sayang perbuatan sia- sia sperti ini, bahasa arabnya mubazir. Atau mungkin kita menggunakan ilmu itu untuk memperdaya dan merugikan orang lain demi kepentingan pribadi.

Golongan dua ini mengabdi kepada diri sendiri saja, mendapat kepuasan diri dan mendapat cacian orang lain pula. Biasanya hidupnya tidak sukses.

Kontras dengan golongan tiga, yang melakukan perbuatan mulia tapi tidak bertahan lama, yaitu melakukan semua untuk mengabdi kepada orang lain dengan melupakan kepentingan diri sendiri. Contoh ekstrem adalah bunuh diri demi memberikan ginjal kepada anak mantan pacar, seperti di salah satu film Indonesia terbaru. Ini juga percuma, karena bagaimana seseorang yang tidak sejahtera bisa menyejahterakan orang lain.

Yup, kelompok terakhir adalah kelompok orang yang mampu mengabdi kepada diri sendiri dan mengabdi pula kepada orang lain. Dua-duanya. Sekaligus. Mereka tidak hanya memenuhi kodratnya sebagai makhluk pribadi, tapi juga mampu memenuhi kodratnya sebagai makhluk sosial. Dalam hal keilmuan, ini tentu berarti ia mengamalkan (bukan sekadar menggunakan) ilmu yang dia miliki.

Contohnya? Contoh paling mudah dan dapat segera terlihat adalah seorang dokter. Jika ia ikhlas mengamalkan ilmunya, ia dapat menggunakannya untuk mengabdi kepada orang lain dengan mengurangi penderitaan mereka, sekaligus mengabdi kepada diri sendiri karena telah menggunakan ilmu yang dimiliki. Belum lagi rasa terima kasih dari pasien yang terkesan oleh ketulusan hati dokter tersebut, pasti akan berbeda rasa terima kasihnya kepada dokter yang hanya mengabdi kepada diri sendiri, menganggap pengabdiannya kepada orang lain hanya sebagai tugas untuk menjamin kesejahteraan dirinya. Karena ia tidak tulus, tentu pasiennya tidak akan berterimakasih dengan tulus. Dan jangan remehkan rasa terima kasih. Bila pada suatu hari yang buruk, di jalanan sepi terjadi tabrakan mobil antara dua dokter yang telah disebutkan, kemudian seorang tukang ojek yang kebetulan pernah berobat ke dua-duanya melintas, mana yang akan ia selamatkan terlebih dahulu karena motornya hanya muat satu orang? Tentu ia akan memilih dokter yang pertama. Kenapa? Karena doter tersebut mrngabdi kepada orang lain dengan tulus.

Meskipun golongan keempat ini sehat, tapi belum sempurna tanpa dilakukannya bentuk pengabdian yang terakhir, yang disebut….

Pengabdian kepada Tuhan. Pengabdian jenis ini menurut saya paling sulit. Karena kita tidak dapat mengalami hasilnya secara langsung. Setelah mengabdi kepada diri sendiri, kita akan merasa puas. Pengabdian kepada orang lain mungkin berujung pada rasa terima kasih yang kita dapatkan langsung. Berbeda dengan pengabdian kepada Tuhan. Beberapa orang mungkin tidak langsung merasakan hasil dari mengabdi kepada Tuhan, tapi hasilnya itu ada, dan lebih baik. Kenapa lebih baik? Karena sebenarnya seluruh pengabdian yang dapat dilakukan manusia terangkum dalam pengabdian kepada Tuhan.

“Kamu nyerocos apa sih? Aku gak ngerti. Terakhir aku dengar masih ngomongin golongan2?”
Oke, kita lihat dari hubungannya dengan pengabdian lain. Kalau pengabdian kepada diri sendiri dan pengabdian kepada orang lain sering bertentangan pengabdian kepada Tuhan justru mengintegrasikan kedua pengabdian tersebut ke dalam sebuah supramolekul yang lebih kompleks. Mau bukti? Sekarang kita perhatikan cara mengabdi kepada Tuhan. Caranya adalah, gampang saja, dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sejauh yang saya tahu (dan saya tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit), tidak ada satu perintah pun yang mengharuskan kita hanya mengabdi pada diri sendiri, mementingkan keselamatan sendiri. Demikian pula tidak ada larangan yang melarang kita mengabdi kepada orang lain. Sebenarnya pengabdian ini menuntut kita untuk mampu menyeimbangkan antara pengabdian kepada diri sendiri dan pengabdian kepada orang lain. Di sinilah keutamaan pengabdian kepada Tuhan.

Mirip dengan golongan 4 ya? Tapi ditambah cara lain untuk mengabdi kepada Tuhan : beribadah. Dengan beribadah selain menyenangkan Tuhan kita juga menyejahterakan diri sendiri. Karena itulah saya sebut pengabdian ini adalah pengabdian yang paling sulit, karena menggabungkan semua pengabdian yang kita lakukan. Walaupun demikian, kita tetap menjalankan pengabdian kepada Tuhan kan? Karena kita yakin bahwa kita akan mendapat hasil yang lebih baik nanti.

Kesungguhan, ketulusan, dan keyakinan. Jadikan ketiga hal ini sebagai landasan pengabdian kita. Bagi kalian yang belum mulai mengabdi, mulailah sekarang! Kalian akan terjekut betapa bermaknanya hidup ini sebenarnya. Bagi yang sudah mulai mulai mengabdi, tingkatkan pengabdianmu! Tujuan tulisan ini akan tercapai jika kita semua menyadari bahwa kita dapat menyadari bahwa ‘Oh iya, apa yang saya lakukan ini sebenarnya tidak sia- sia. Jika saya bersungguh- sungguh melaksanakannya dengan tulus untuk menyejahterakan diri sendiri, menyenangkan orang lain dan mengabdi kepada Tuhan, saya yakin perbuatan ini akan menjadi suatu pengabdian yang terindah’.

Manusia = Makhluk Pengabdi. Sekarang setuju kan? Kita lihat bahwa sebenarnya segala sesuatu yang kita lakukan dapat merupakan wujud pengabdian kita. Tapi perbuatan yang kita lakukan dapt menjadi pengabdian terbaik maupun pengkhianatan terburuk. Kalau seorang pakar toksikologi mengatakan, ”Semua tergantung pada dosis”, maka saya berkata, “Semua tergantung pada niat”.

8_eMBeRlEAf_8

Pengikut