http://www.blogger.com/html?blogID=5248118097799647105 dr. Padjadjaran: 2009

Yang Mengelola blog ini:

pengabdian kepada masyarakat fakultas kedokteran universitas padjadjaran

Get The Latest News

Sign up to receive latest news

30.10.09

Pengabdian, ”persembahan dari hati yang tak mati....”

” Universitas kita
Padjadjaran tempat bernaung
INSAN ABDI MASYARAKAT
Pembina nusa bangsa
......................................... ”
( Hymne Universitas Padjadjaran )

Sebuah potongan bait hymne Unpad (yg secara tak sadar kadang kita lupa merupakan bagian darinya) diatas secara gamblang maupun tersirat menyatakan bahwa kita (yg kini berstatus sbagai seorang mahasiswa Unpad) merupakan INSAN ABDI MASYARAKAT.

Dunia kedokteran, terutama sebagai dokter yang nanti akan kita geluti pun sangat erat kaitan nya dengan pengabdian, sesuai hakikatnya sebagai insan abdi masyarakat. Dokter bukanlah merupakan tugas profesi, melainkan sebuah tugas suci karena jiwa mengabdi yg tampak di dalamnya, memberikan manfaat yg sebesar-besarnya kepada masyarakat begitu mendominasi, dan justru itulah yang menjadi feel nya.

Pengabdian, satu kata yg mewakili apa yg telah sy sampaikan diatas perlu kita pahami dan kita laksanakan, apalagi keterkaitan kita sebagai seorang mahasiswa fakultas kedokteran. Lalu pengabdian seperti apa???

Mengabdi kepada masyarakat, kelak memang akan ada masa nya ketika kita menjadi seorang dokter, tapi apakah kita harus menunggu sampai masa itu tiba?? Dan apa yg bisa kita lakukan kini sebagai seorang mahasiswa??

Walaupun memang akan ada masa nya kelak kita akan mengabdi kepada masyarakat, tapi sebenarnya jiwa itu bisa kita latih dari sekarang, secara SADAR dan SENGAJA. Balai Pengobatan, bakti sosial, dan kegiatan2 lain yg berhubungan dengan masyarakat memang merupakan sebuah bentuk pengabdian, tetapi luang lingkup pengabdian tidak terbatas pada masyarakat saja, luang lingkup dan proses serta cara nya sangat luas sekali. Sebagai seorang hamba Allah, tentunya pengabdian yg pertama dan utama ialah terhadap Allah swt dengan jalan ibadah kepada –Nya. Sebagai seorang individu, pengabdian bisa kita lakukan untuk diri sendiri, dengan menghargai diri sendiri, mengerjakan tugas pokok, dan terus meningkatkan kualitas diri. Sebagai seorang anak, pengabdian bisa dilakukan dengan menjga perasaan kedua orang tua kita, menjaga amanah keduanya, dan membuat bangga mereka. Sebagai makhluk sosial, dalam lingkup yg paling kecil, pengabdian bisa dilakukan dengan membantu teman yg mengalami kesulitan (apakah itu karena pelajaran, pergaulan dsb.), mulai dari orang2 yg berada di lingkungan terdekat di FK (teman2, karyawan, dosen), masyarakat Unpad, masyarakat Jatinangor, dan lebih luasnya lagi masyarakat Indonesia bahkan dunia. Sebagai bagian dari tatanan kehidupan, menghargai waktu (dengan datang tepat waktu) itu pun merupakan bagian dari pengabdian, karena waktu adalah lingkaran dimana kehidupan kita berjalan, kita atur waktu untuk mengatur kehidupan. Pengabdian bisa dilakukan dari hal yg terkecil, bisa kita lakukan dimana saja, dan bisa dimulai saat ini, sekarang!! Kualitas pengabdian kita merupakan bekal untuk dihisab kelak ketika maut menjemput kita.

Pengabdian adalah REALITA, bukan DOGMATIS, maka perlu diamalkan tidak cukup dengan dipahami saja. Lalu apa yg akan kita dapatkan dengan melakukan pengabdian tersebut?? Selain pahala (insya Allah..), semakin banyak kita memberikan sesuatu kepada orang lain, semakin banyak pula kita akan mendapatkan sesuatu (paradox of sharing). Pengabdian bukanlah PENGORBANAN, melainkan KEHORMATAN.
Dan bagi saya, PENGABDIAN ADALAH PERSEMBAHAN DARI HATI YANG TAK MATI....

Karena Mereka Peduli

Mereka tidak berbeda dari ibu kebanyakan
Memasak untuk suami mereka
Mengasuh anak-anak mereka
Mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga
Semua itu juga mereka lakukan
Namun, ada satu hal yang membedakan mereka
Mereka peduli...

Ada yang sudah bisa menebak siapa “mereka” yang dimaksud?
Ya, "mereka" yang dimaksud adalah para ibu kader Posyandu. Salah satu kenyataan yang cukup miris di negeri ini adalah bahwa sedikit sekali tenaga dokter yang bersedia ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Jangankan jauh di pedalaman Papua sana, di sini pun, di Jatinangor, sebuah kawasan yang notabene bersebelahan dengan kota sebesar Bandung, hal itu terjadi di sini. Tak hanya satu desa, mungkin ada berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus desa yang tidak memiliki satu pun tenaga dokter.

Lalu, jika begitu, siapa yang akan menjamin kesehatan warga di suatu desa? Untunglah, setidaknya ada satu bidan di setiap desa. Jangan tanya apa itu cukup. Karena jelas tidak. Wilayah desa yang cukup luas tentunya tidak mungkin ia kelola sendirian. Di sinilah peran para kader Posyandu. Mengadakan penyuluhan tentang kesehatan ibu dan anak, imunisasi, pendataan gizi balita, sampai pemberian suplemen. Bahkan, tak jarang mereka harus mendatangi rumah warga satu per satu untuk melakukan pendataan, karena memang tidak semua warga bisa pergi ke Posyandu.

Pekerjaan itu barangkali akan terasa lebih mudah jika mereka mendapat upah atas jerih payah mereka. Namun, sayangnya, itu sama sekali tidak mereka dapatkan. Mereka melakukan itu semua atas kemauan sendiri, dengan sukarela. Telah dikatakan di awal, bahwa mereka tidak berbeda. Memang, mereka tetap seorang istri bagi suaminya yang tidak lupa mengerjakan tugas rumah tangganya. Mereka pun tetap seorang ibu yang juga mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anaknya. Dan mereka pun sama-sama bukan berasal dari keluarga yang berada.

Namun, mereka bersedia meluangkan waktu mereka di antara semua kesibukannya itu untuk terlibat aktif dalam kegiatan Posyandu. Untuk memonitor kesehatan ibu dan anak di desanya, dan memberikan pelayanan kesehatan semampu mereka. Mengapa mereka bersedia melakukan semuanya padahal mereka tidak dibayar sama sekali? Karena mereka peduli. Mereka peduli terhadap kesehatan tetangganya sesama warga desa. Mereka sadar bahwa masalah kesehatan ibu dan anak terlalu vital untuk diabaikan begitu saja. Mereka prihatin terhadap minimnya perhatian pemerintah terhadap desanya. Dan setidaknya mereka tahu, sekalipun jasa mereka tak dibalas kali ini, mereka akan mendapatkan balasan yang tak terkira besarnya, kelak di akhirat

Sekarang, coba bayangkan bagaimana seandainya kita berada dalam posisi mereka? Apa kita sanggup suatu saat nanti, setelah menjadi dokter, ditempatkan di daerah terpencil, melakukan hal yang sama tanpa memperoleh bayaran atau hanya mendapatkan seadanya? Akan mengabdi dimana pada saatnya nanti merupakan pilihan kita masing-masing. Hanya sebagai bahan pertimbangan, sebelum memutuskan, banyak-banyaklah melihat sekeliling dan coba renungkan kembali makna dari pengabdian yang diemban oleh seorang dokter kelak.

Pelatihan P3K untuk anak kedokteran??

kecelakaan, suatu kejadian tiba2 yg sulit untuk kita hindari, dan menimbulkan kerugian, baik secara fisik, materi maupun mental..

sebagai seorang anak SMA, wajar ketika melihat kecelakaan yg mengakibatkan kerugian secara medis (luka, patah tulang dsb..) kita hanya bisa melihat, merasa iba, dan hanya mendoakan, tapi apa yg akan kita lakukan ketika status kita sebagai seorang mahasiswa kedokteran?? akankah melakukan hal yg sama seperti itu, atau melakukan intervensi karena memiliki tanggung jawab akan status mahasiswa kedokteran yg melekat pada nya?? (bagaimana ketika kita belum memiliki ilmu untuk menolong hal itu??)

dan berdasarkan survey kasar, sebagian besar (hampir semua) mahasiswa kedokteran pun banyak yg belum mengetahui ilmu pertolongan pertama pada kecelakaan(P3K) ini.., ironis memang, lalu bagaimana dengan mahasiswa yg non medis klo kondisi nya seperti itu??

untuk menjawab keterbutuhan itu, maka tanggal 28 Februari 2009 menjadi waktu penyelenggaraan pelatihan itu.., untuk seluruh mahasiswa kedokteran, semua angkatan.., mulai dari basic life support, penanganan luka dan shock, patah tulang dan pembidaian, serta evakuasi dan transportasi...

biarlah foto2 ini yg menggambarkan deskripsi kegiatan yg kami lakukan saat itu..




* fase persiapan pelatihan, pemusatan latihan di departemen anasthesi rumah sakit hasan sadikin.. ^^













* it's time to show.. :D

semoga ilmu yg didapat bisa dimanfaatkan dan diberdayakan seoptimal mungkin, hingga pengabdian menemukan makna seutuhnya disana...

Dokter: Pengabdian atau Uang?

Pemandangan yang biasa di sebuah rumat sakit swasta terbesar. Puluhan orang berpakaian rapi sudah menunggu di depan ruang praktik dokter X, menunggu saatnya diizinkan bertemu dan berkonsultasi dengan dokter tersebut. Mereka bukanlah pasien yang menunggu antrian periksa dokter tersebut, tetapi mereka adalah calo-calo obat (biasa disebut dengan medical representative) dari berbagai perusahaan di negeri ini. Ya, seperti itulah gambaran salah satu cara delivery obat-obatan kepada konsumen melalui dokter. Mengapa dokter menjadi primadona produsen obat? Karena ditangan dokter lah resep terhadap pasien ditentukan. Dokter menjadi aktor utama yang mengetok palu terakhir perihal obat-obat apa saja yang akan di konsumsi oleh pasien. Otomatis, ada celah komersialisasi dalam proses komunikasi ini. Dan yang paling berkepentingan terhadap fenomena ini adalah para produsen obat. Bisa saja, banyaknya keuntungan penjualan obat tersebut diraup di atas penderitaan orang lain, karena dalam penyimpangan etika seperti ini yang paling dirugikan adalah pasien sebagai konsumen pelayanan jasa kesehatan.

Atmosfer pelayanan kesehatan yang demikian parah memunculkan satu konsekuensi terhadap perubahan perilaku dokter atau pelayan kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ada dokter yang hanya memanfaatkan segi komersiilnya saja atau ada juga dokter yang mengutamakan rasa humanismenya dalam mengabdikan kompetensinya kepada masyarakat luas. Yang jelas,orientasi dan paradigma berpikir seorang dokter dipengaruhi oleh beberapa factor. Salah satunya adalah aspek historis berupa biaya pendidikan yang mahal. Sebuah fakta empiris dalam survey yang dilakukan di Jakarta beberapa waktu yang lalu menyebutkan bahwa student unit cost pendidikan strata dokter adalah sebesar Rp. 15,5 juta per mahasiswa untuk satu semester saja. Sementara itu, kalau kita tilik lebih jauh lagi. Praktik-praktik liberalisasi pendidikan kedokteran kian mengakar kuat di berbagai instansi pendidikan di negeri ini. Lihat saja Fakultas Kedokteran Atmajaya, salah satu universitas swasta di Jakarta ini, mematok harga tiket masuk kuliah tidak kurang dari 75 juta rupiah. Begitu juga dengan beberapa universitas lainnya, seperti Trisakti yang mencantumkan biaya sumbangan masuk pendidikannya sebesar 75 – 100 juta rupiah. Jumlah yang besar itu baru memnuhi persyaratan sumbangan awal masuknya. Peserta didik masih dibebani biaya yang tidak sedikit untuk operasional pendidikannya, mulai dari SPP, BOP dan biaya praktikum. Dan nilai beberapa item tersebut tentu saja berbilang jutaan rupiah. Sementara itu, di beberapa instansi pendidikan pemerintah atau yang statusnya negeri rata-rata menetapkan biaya kuliah yang relatif lebih rendah dari universitas swasta. Oleh karena itu, banyak fakultas kedokteran negeri yang masih mampu mengakomodasi mahasiswa-mahasiswa dari kalangan ekonomi menengah kebawah dengan melalui program-program beasiswa yang di berikan.

Peta gambaran distribusi biaya pendidikan yang relatif tinggi ini tentu saja dapat menimbulkan sebuah kesan yang negatif mengenai track record seorang dokter di mata masyarakat. Walaupun tidak dapat dipungkiri mengenai rasionalisasi tentang begitu tingginya biaya yang dikeluarkan dalam proses pendidikan seorang dokter, diantaranya karena memang properti-properti yang dibutuhkan relatif mahal untuk didapat. Ilmu kedokteran berbeda dengan ilmu non eksakta yang tidak memerlukan bahan-bahan untuk praktik. Pendidikan kedokteran bahkan memerlukan tambahan fasilitas, seperti rumah sakit. Tetapi, perlu kita analisis juga mengenai terjadinya pergeseran orientasi pelaksanaan tugas seorang dokter. Dahulu, dokter dikenal dengan keramahtamahannya dan dikena sebagai seorang yang ringan tangan dalam memberikan pertolongan kepada siapapun. Sekarang, terjadi semacam degradasi nilai dari keberadaan seorang dokter. Banyak masyarakat yang mulai mencibir para dokter karena opini yang terbentuk adalah bahwa sebagian besar dokter saat ini cenderung lebih mengutamakan nilai komersialisasi dan uang dibanding dengan rasa tulus untuk menolong sesama.

Fenomena ini layak ditanggapi secara serius karena jangan sampai filosofi mulia pengabdian seorang dokter tersisihkan oleh beberapa distorsi perilaku yang lebih menjunjung tinggi rupiah dibandingkan dengan berkah atau rasa kemanusiaan. Ingatkah ketika Hipokrates mengucapkan sumpahnya dengan begitu tulus? Sebuah nilai yang patut untuk dipelihara dalam setiap aktivitas kemanusiaan, terutama pelayanan kesehatan kepada orang lain. Semoga dokter tetap menjadi seorang figur pengayom dan kader kesehatan yang humanis dalam masyarakat

Mengabdi kepada alam..

wali pohon, sebuah kegiatan yg kami lakukan di gunung kareumbi tanggal 07 Maret 2009 bekerjasama dengan pihak fakultas dan wanadri ini benar2 bersatu dengan alam.., pasalnya kegiatan kita disini utama nya ialah menanam pohon, dan menjadi wali nya selama 5 tahun dengan cara dirawat oleh penduduk sekitar, diluar itu acara lain nya ialah meng-explore dan mentadaburi alam ciptaan Nya ini..

program pengabdian tidak terbatas pada manusia saja.., karena alam merupakan supporting system penyusun kehidupan manusia.., yg tanpa nya manusia tak dapat melangsungkan kehidupan, jadi tak berlebihan dan bukan menjadi hal yg aneh kegiatan seperti ini dilakukan oleh seksi pengabdian kepada masyarakat..

terlebih sebelumnya, tanggal 14 Februari 2009, kami pun berpartisipasi aktif di kegiatan GO GREEN UNPAD, menanam sekitar 5000 pohon disekitaran kampus UNPAD Jatinangor...

bukti nyata pengabdian pada alam...
memberi pengabdian secara menyuluruh dan terintegrasi tidak hanya pada satu aspek.., tapi terhadap tatanan kehidupan secara keseluruhan...

berikut rekaman gambar yg mengabadikan masa-masa itu..
















* kebersamaan yg indah dengan alam...

semoga keharmonisan dan timbal balik yg indah ini akan terjalin seutuhnya...

Kisah Pengabdian Seorang Bidan

Eros Rosita namanya. Jika pada akhirnya ia meraih Danamon Award 2008 kategori individu untuk ketekunannya memberikan pelayanan sosial kepada ibu-ibu dan bayi di tanah Baduy, itu sekadar bukti bahwa kepeduliannya kepada sesama memang nyata.

Profesi resmi Eros atau Rosita memang bidan. Karena itu, bisa jadi kita menganggapnya biasa saja bahwa ia lalu memberikan pengabdian terhadap warga Baduy dalam hal kesehatan. Masih terasa biasa pula barangkali saat bidan Rosita mengajak warga Baduy di Desa Kanekes untuk sadar kesehatan, mengurangi angka kematian bayi secara drastis saat mereka melahirkan, dan membina warga Baduy sebagai kader kesehatan.

Namun, cobalah kita perhatikan hal-hal berikut ini. Desa Kanekes yang terdiri atas dua bagian besar, Baduy Luar dan Baduy Dalam, merupakan masyarakat ulayat yang masih keukeuh mempertahankan keaslian adat-istiadat. Sebuah tradisi yang sulit ditembus. Jadi, tak mudah menawarkan “program kesehatan modern” kepada mereka. Mereka tak akan minta pertolongan tenaga kesehatan kecuali untuk kasus gawat darurat. Paraji (dukun beranak) masih berperan penting dalam menolong persalinan.

Karena itu, paraji pun lalu dibina untuk asuhan persalinan normal sederhana. Memang, jangankan untuk hal-hal yang teknis seperti itu. Semula bahkan warga Baduy dalam menolak untuk sekadar diimunisasi, apalagi jika mereka diharapkan sadar sendiri meminta obat atau susu, ya pasti tak mau.

Itu baru tantangan tradisi. Tantangan fisik pun tak kalah seru. Pasalnya, sebagian besar Desa Kanekes yang luasnya 5.100 hektare itu masih berupa hutan. Sementara adat masyarakat setempat mengharamkan penggunaan kendaraan bermotor maupun hewan berkaki empat.

Mau tak mau perjalanan untuk melakukan pelayanan kesehatan dilakukan dengan berjalan kaki sambil mengangkut peralatan medis, obat, dan makanan tambahan bagi anak balita.
Rupanya, tantangan tradisi dan fisik itu mesti dihadapi dengan kekuatan “tradisi” alias pembiasaan diri dan fisik pula yang disokong dengan tekad yang kuat.

Awalnya, untuk memasuki desa yang mengharuskan penduduknya berpakaian hitam-hitam ini, Ros memang diajak ayahnya yang kebetulan juru suntik khusus masyarakat Baduy, baik Baduy luar maupun Baduy dalam.

Itulah kali pertama dia menitikkan air mata ketika menyadari bahwa gelar bidannya diperoleh dari kekuatan kaki ayahnya menapaki bukit-bukit terjal itu.
Ketika itu, reaksi masyarakat Baduy yang sangat tertutup sempat membuat dirinya tidak percaya bahwa dia akan diterima dengan baik seperti mereka menerima ayahnya. “Setiap kali saya datang, ibu-ibunya langsung ngumpet. Ngeliat saya kayak ngeliat setan,” ucapnya sembari tertawa.

Untuk menumbuhkan rasa percaya masyarakat yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan itu, Ros harus selalu dapat membuktikan bahwa obat ataupun makanan yang diberikan kepada mereka memang berkhasiat bagi kesehatan mereka.

Tapi pernah satu kali salah seorang pasiennya meninggal seusai diikutsertakan dalam penelitian bersama dokter-dokter dari Rumah Sakit Harapan Kita.

Keluarga pasien tersebut mengira pemeriksaan yang menggunakan elektrokardiogram itu adalah penyetruman yang mengakibatkan kematian. “Waktu itu keluarganya minta tebusan enam juta, saya panik. Tapi Dr. Idris Idham (Ketua Tim Penelitian) membantu saya..

Pengalaman inilah yang kemudian membuat dirinya terus berdoa agar anak-anaknya kelak juga dapat menyembuhkan masyarakat Baduy dengan pemeriksaan yang lebih teliti.

Demikianlah sekelumit kisah penuh semangat dari bidan Eros Rosita yang dikutip dari berbagai sumber.


Suzu

Ya.., inilah kami... :D

Seksi Pengabdian Kepada Masyarakat
Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran




merupakan seksi yang bertugas untuk melaksanakan fungsi ketiga dari tridharma perguruan tinggi yaitu fungsi pengabdian…

Visi:

“…membentuk mahasiswa FK Unpad terdepan dalam memberikan kebermanfaatan berdasarkan esensi pengabdian…”

Tujuan :

1. Menginisiasi dan meningkatkan sense of crisis, kepedulian, solidaritas, dan empati mahasiswa terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya

2. Memfasilitasi kegiatan sosial kemasyarakatan mahasiswa FKUP

3. Memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sesuai dengan kapasitas kami sebagai mahasiswa FKUP

4. Membangun hubungan yang baik dengan pihak-pihak terkait

5. Meningkatkan environtmental skill mahasiswa.





* inilah kami, kamilah ini.. :D

Pengabdian,
" Persembahan Dari Hati Yang Tak Mati"

BERGERAK-MENJAWAB KETERBUTUHAN

Proker 10 menit pasca pelantikan...

penyerangan Amerika ke Palestina yang sempat digencarkan dulu, membuat hati2 kita tergerak dan berintegrasi sebagai UNPAD SATU untuk ikut berkontribusi memberikan bantuan untuk saudara2 kita di Palestina, hanya DOA dan bantuan DANA seterbatas mungkin yg bisa kami berikan kesana.., tapi ini menjadi bukti, bahwa hati kami belum mati !!

tanggal 18 Januari 2009 menjadi saksi pergerakan awal kami, hanya 10 menit pasca pelantikan kepengurusan Senat Mahasiswa periode kepengurusan baru.., menjadi seksi yg paling cepat bergerak mungkin.., semoga bukan menjadi sebuah kesombongan, tapi semoga semakin memacu kami dan teman2 dari seksi lain untuk terus beraktifitas..., dari hati yang tak mati...

berangkat dari dasar kami sebagai seorang mahasiswa kedokteran, galang dana berbasis kedokteran pun kami lakukan saat itu.., pemeriksaan tekanan darah keliling di pasar UNPAD kami lakukan, anak 2007 semua yg diturunkan, karena 2008 sedang mengabdikan diri mereka untuk menghadapi ujian esok hari nya...

berikut sedikit yg medokumentasikan apa yg kami kerjakan saat itu:






* untukmu saudaraku di Palestina...

semoga bisa terus memberikan persembahan dari hati yang tak mati nya...

29.10.09

Anak Kost , Riwayat mu Kini....

Anak kost. Apa yg terbesit di pikiran kita ketika mendengar kata itu? Anak rantau?? menderita?? penuh keterbatasan – dalam hal financial terutama?? berprestasi?? cinta damai??
Benarkah anggapan orang-orang yg menganggap anak kost (terutama anak rantau) hidupnya serba terbatas?? katanya anak kost itu banyak ga sehat, anak kost itu ga bisa hemat (ga pintar ngatur duit) hingga sering anak kost itu awal bulan makan enak dan akhir bulan ga makan, pokoknya gak ada cara sehat buat mahasiswa yg ngekost, menderita emang harusnya begitu, gak mahasiswa namanya kalo gak menderita.. (iya gitu..??) dan banyak juga anggapan lain tentang anak kost. (kok anggapan nya jelek-jelak ya??)

Memang semua hal ini tak dapat dihindari dari seorang mahasiswa. Kondisi badan fit, semua pekerjaan dapat diselesaikan dengan lancar dan mendapat hasil yang memuaskan. Tapi, apakah bisa anak kost slalu sehat walau ada dalam keterbatasan???
Pertanyaan bagus !! Daripada kita tertekan dengan hal-hal diatas, kita bisa melakukan beberapa hal berikut agar kondisi kesehatan kita tetap terjaga (walaupun menjadi seorang anak kost..)

1. Mengatur pola makan yang sehat

• Atur pola makan yang sehat dengan makan makanan yg bergizi, makan banyak sayuran dan buah-buahan (percaya gak tiga butir buah perhari menjauhkan kita dari dokter mata?), konsumsi rempah-rempah, dan mengunyah makanan dengan sempurna.
• Hindari makanan siap saji, hindari makanan yg kandungan gula nya tinggi (karena bisa melemahkan sistem imun –pertahanan tubuh-), lemak dan minyak (karena menyebabkan penyumbatan pembuluh darah), susu sapi (karena manusia tidak mampu sepenuhnya mencerna susu sapi), dsb.
• Bagi anak kos-kosan mungkin tiap hari mie instan dah masuk daftar menu makanan. Sebenarnya, mengkonsumsi mie instan setiap hari itu tidak baik.

2. Olahraga secara teratur

• Bila tidak punya uang untuk jenis olah raga yang memakan biaya atau untuk lebih hemat, bisa ketika kita bangun tidur, kita melakukan gerakan-gerakan kecil pada setiap persendian badan secara rutin, lari pagi minimal sekali dalam seminggu. Dan kalau tidak sempat melakukan kedua hal diatas untuk lebih menghemat, jika kost-nya masih bisa dijangkau dengan “jalan kaki” hindari naik ojek. (dan sekadar informasi, jalan kaki adalah salah satu olahraga terbaik yang dilakukan untuk menjaga bioritme tubuh...)

3. Istirahat

• Jauhi stress, jangan lupa untuk tetap istirahat karena itu sangat diperlukan oleh tubuh kita, jadi istirahatlah dengan baik

4. Jauhi alkohol

• Karena merokok dapat menyebabkan kanker, impotensi, gangguan kehamilan dan janin – kayak yg di iklan-iklan..^^).

5. Rajin mandi.. :)

• Menurut penelitian terbaru, mandi ternyata tidak hanya baik untuk membersihkan tubuh dari kotoran dan menjauhkan stress, tapi mandi juga memiliki peranan penting meningkatkan sistem kekebalan, membantu kulit terhindar dari penyakit seperti eksema dan bahkan menyembuhkan masalah medis serius. (untuk hal ini.., mungkin nanti akan sya paparkan tersendiri di artikel lain..^^)

6. Hindari berpakaian ketat saat tidur..

• Pakaian yang menekan perut atau dada, bisa menekan saraf sehingga akan memengaruhi fungsi organ yang bersangkutan..
Dengan mencoba hal diatas mudah-mudahan setiap kita (terutama anak kost) tidak ada lagi yang kurang sehat,lesu, maupun kurang gizi, tapi anak kost juga akan menjadi sehat dan tetap semangat! Selamat mencoba dan semoga sukses!!.

*karena di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat...:)

danfer

31.3.09

Manusia = Makhluk Pengabdi

Manusia? Makhluk pengabdi?Apa-apaan tuh? Benarkah itu? Gw ga terima dibilang pengabdi! Bagaimana dengan kodrat kita sebagai makhluk merdeka? Bagaimana dengan status kita? Bagaimana dengan derajat kita yang tinggi? Bagaimana dengan Tommy Soeharto (loh?)? Bagaimana dengan….STOP!

Sabar mas. Saya aja belum ngomong. Tulisan di bawah ini hanya pendapat saya pribadi tentang arti pengabdian dan hubungannya dengan manusia. Teman- teman boloh setuju atau tidak dengan pendapat saya, tapi yang penting, baca aja dulu : ].

Oke, menurut saya, pengabdian berarti hal- hal yang berhubungan dengan mengabdi. Sekumpulan sikap dan perbuatan yang dilakukan atas dasar mengabdi. Mengabdi sendiri menurut saya punya arti lebih dari sekadar ‘menjadi abdi’. Cara mengabdi yang baik memerlukan keinginan, pengabdian kita yang merdeka dan tulus membutuhkan keyakinan dan kepercayaan kita bahwa kita melakukan hal- hal tersebut untuk menyenangkan hati dan menyejahterakan siapa yang kita abdikan, dan kita menganggap ‘siapa’ itu memang pantas mendapatkan hal- hal tersebut dari kita.

Sebelum ada suara- suara menyatakan, “Kalau begitu saya manusia yang bukan makhluk pengabdi. Saya melakukan segala hal atas keinginan saya sendiri. Saya tidak peduli. Saya...bla…bla…bla”, mari kita lihat beberapa kegiatan sederhana yang sering kita lakukan sehari- hari.

Makan, minum, tidur, berolahraga, belajar, semua itu adalah kegiatan dasar yang sering kita lakukan. Terlihat biasa saja, kita melakukan hal2 itu karena kita ingin saja. Padahal, kalau kita lihat dengan high power field 100X, kita bisa melihat bahwa kegiatan2 tersebut merupakan bentuk pengabdian kita.
Kepada siapa? Kepada diri sendiri!

Sesuai dengan definisi saya tentang pengabdian di atas, kita melakukan kegiatan2 tersebut untuk menyenangkan hati kita sendiri dan menyejahterakan diri kita sendiri. Dan apakah kita pantas mendapatkan pengabdian dari diri kita sendiri? Tentu saja! Kita menganggap diri kita sendiri berharga, karena kalau tidak, siapa lagi yang mau menghargai kita? Ini sifat kita sebagai manusia, dan merupakan alasan yang kuat mengapa kita mau mengabdi kepada diri sendiri. Walaupun kita itu cerewet, banyak maunya, ingin makan terus, dan lain2 (no hard feelings, okay?), kita tetap mengabdi kepada diri kita, karena kita menganggap kita pantas mendapatkan itu. Hal inilah yang menyebabkan manusia sering kali ‘ngotot’ mempertahankan hidupnya yang serbasulit meskipun tampaknya sudah tidak ada harapan unuk memperbaiki kehidupan. Karena kita mengabdi kepada diri kita dengan sungguh- sungguh. Lihat, 1-0 untuk pengabdian. Benar kan bahwa manusia makhluk pengabdi?

“ Kalau begitu, kita manusia makhluk yang egois dong? Kita mengabdi kepada diri kita sendiri atas apapun yang kita lakukan?”

Tenang, bukan bererti kita makhluk yang self-oriented, karena sadar atau tidak sadar, kita sering melakukan bentuk pengabdian lain, yaitu….
Pengabdian kepada orang lain. Ini adalah suatu bentuk pengabdian yang bisa membuat si pengabdi selamanya akan dikenang pengabdiannya. Pengabdian jenis inilah yang membuat nama Nelson Mandela tercetak di setiap buku sejarah. Inilah yang menyebabkan ribuan orang menangisi kepergian Mahatma Gandhi, yang membuat wajah Ir. Soekarno tercetak di lembar 100 ribu-an, dan mengapa kisah kehidupan Florence Nightingale ada di ‘Seri Tokoh Besar Dunia’. Pengabdian kepada orang lain ini termasuk membahagiakan orang tua, menolong masyarakat, negara, pokoknya kepada makhluk lain selain diri kita sendiri. Dengan efeknya yang dapat menjadi sangat besar, apakah pengabdian kepada orang lain ini lebih sulit daripada pengabdian kepada diri sendiri? Mungkin, karena pengabdian kepada orang lain ini sering bertabrakan dengan pengabdian kepada diri sendiri. Kenapa? Karena kita mengorbankan kesenangan dan kesejahteraan kita demi kesenangan dan kesejahteraan orang lain. Misalnya kita mengorbankan waktu istirahat kita untuk menemani ibi berbelanja kita, memotong waktu belajar kita untuk rapat MedEx, bahkan mengorbankan uang makan kita selama 3 tahun untuk membelikan seorang pengemis pulpn Mont Blanc baru (yang menurut saya mulia tapi agak bodoh). Tentu bukan berarti kedua macam pengabdian ini selalu bertentangan, bahwa kita tidak bisa mengabdi kepada orang lain dan diri sendiri bersamaan (yang kalau memang tidak bisa, akan menciptakan sebuah dunia yang mengerikan, dengan satu kelompok orang yang melakukan segalanya demi orang lain, dan kelompok lain yang memanfaatkan segalanya untuk diri sendiri, seperti di film2 superhero). Beberapa contoh di bawah mungkin dapat memberikan inspirasi bahwa tidak sulit kok men-sinergiskan dua hal ini.

Contoh yang paling sering kita hadapi adalah ilmu. Mencari ilmu merupakan sesuatu yang unik dilihat dari sudut pandang pengabdian yang dilakukan manusia. Dengan belajar, menuntut ilmu, kita sedang mengabdi kepada diri kita sendiri, yaitu menyejahterakan diri sendiri karena ilmu yang diperoleh akan memudahkan kita untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri (contoh: ilmu facebook untuk kebutuhan komunikasi). Dilema terjadi setelah kita memperoleh ilmu tersebut. DI sini, ada 4 golongan yang bisa kita pilih.

Golongan pertama, mungkin kita bisa saja tidak memanfaatkan ilmu itu untuk kepentingan siapapun, dan melupakannya begitu saja. Sungguh sayang perbuatan sia- sia sperti ini, bahasa arabnya mubazir. Atau mungkin kita menggunakan ilmu itu untuk memperdaya dan merugikan orang lain demi kepentingan pribadi.

Golongan dua ini mengabdi kepada diri sendiri saja, mendapat kepuasan diri dan mendapat cacian orang lain pula. Biasanya hidupnya tidak sukses.

Kontras dengan golongan tiga, yang melakukan perbuatan mulia tapi tidak bertahan lama, yaitu melakukan semua untuk mengabdi kepada orang lain dengan melupakan kepentingan diri sendiri. Contoh ekstrem adalah bunuh diri demi memberikan ginjal kepada anak mantan pacar, seperti di salah satu film Indonesia terbaru. Ini juga percuma, karena bagaimana seseorang yang tidak sejahtera bisa menyejahterakan orang lain.

Yup, kelompok terakhir adalah kelompok orang yang mampu mengabdi kepada diri sendiri dan mengabdi pula kepada orang lain. Dua-duanya. Sekaligus. Mereka tidak hanya memenuhi kodratnya sebagai makhluk pribadi, tapi juga mampu memenuhi kodratnya sebagai makhluk sosial. Dalam hal keilmuan, ini tentu berarti ia mengamalkan (bukan sekadar menggunakan) ilmu yang dia miliki.

Contohnya? Contoh paling mudah dan dapat segera terlihat adalah seorang dokter. Jika ia ikhlas mengamalkan ilmunya, ia dapat menggunakannya untuk mengabdi kepada orang lain dengan mengurangi penderitaan mereka, sekaligus mengabdi kepada diri sendiri karena telah menggunakan ilmu yang dimiliki. Belum lagi rasa terima kasih dari pasien yang terkesan oleh ketulusan hati dokter tersebut, pasti akan berbeda rasa terima kasihnya kepada dokter yang hanya mengabdi kepada diri sendiri, menganggap pengabdiannya kepada orang lain hanya sebagai tugas untuk menjamin kesejahteraan dirinya. Karena ia tidak tulus, tentu pasiennya tidak akan berterimakasih dengan tulus. Dan jangan remehkan rasa terima kasih. Bila pada suatu hari yang buruk, di jalanan sepi terjadi tabrakan mobil antara dua dokter yang telah disebutkan, kemudian seorang tukang ojek yang kebetulan pernah berobat ke dua-duanya melintas, mana yang akan ia selamatkan terlebih dahulu karena motornya hanya muat satu orang? Tentu ia akan memilih dokter yang pertama. Kenapa? Karena doter tersebut mrngabdi kepada orang lain dengan tulus.

Meskipun golongan keempat ini sehat, tapi belum sempurna tanpa dilakukannya bentuk pengabdian yang terakhir, yang disebut….

Pengabdian kepada Tuhan. Pengabdian jenis ini menurut saya paling sulit. Karena kita tidak dapat mengalami hasilnya secara langsung. Setelah mengabdi kepada diri sendiri, kita akan merasa puas. Pengabdian kepada orang lain mungkin berujung pada rasa terima kasih yang kita dapatkan langsung. Berbeda dengan pengabdian kepada Tuhan. Beberapa orang mungkin tidak langsung merasakan hasil dari mengabdi kepada Tuhan, tapi hasilnya itu ada, dan lebih baik. Kenapa lebih baik? Karena sebenarnya seluruh pengabdian yang dapat dilakukan manusia terangkum dalam pengabdian kepada Tuhan.

“Kamu nyerocos apa sih? Aku gak ngerti. Terakhir aku dengar masih ngomongin golongan2?”
Oke, kita lihat dari hubungannya dengan pengabdian lain. Kalau pengabdian kepada diri sendiri dan pengabdian kepada orang lain sering bertentangan pengabdian kepada Tuhan justru mengintegrasikan kedua pengabdian tersebut ke dalam sebuah supramolekul yang lebih kompleks. Mau bukti? Sekarang kita perhatikan cara mengabdi kepada Tuhan. Caranya adalah, gampang saja, dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sejauh yang saya tahu (dan saya tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit), tidak ada satu perintah pun yang mengharuskan kita hanya mengabdi pada diri sendiri, mementingkan keselamatan sendiri. Demikian pula tidak ada larangan yang melarang kita mengabdi kepada orang lain. Sebenarnya pengabdian ini menuntut kita untuk mampu menyeimbangkan antara pengabdian kepada diri sendiri dan pengabdian kepada orang lain. Di sinilah keutamaan pengabdian kepada Tuhan.

Mirip dengan golongan 4 ya? Tapi ditambah cara lain untuk mengabdi kepada Tuhan : beribadah. Dengan beribadah selain menyenangkan Tuhan kita juga menyejahterakan diri sendiri. Karena itulah saya sebut pengabdian ini adalah pengabdian yang paling sulit, karena menggabungkan semua pengabdian yang kita lakukan. Walaupun demikian, kita tetap menjalankan pengabdian kepada Tuhan kan? Karena kita yakin bahwa kita akan mendapat hasil yang lebih baik nanti.

Kesungguhan, ketulusan, dan keyakinan. Jadikan ketiga hal ini sebagai landasan pengabdian kita. Bagi kalian yang belum mulai mengabdi, mulailah sekarang! Kalian akan terjekut betapa bermaknanya hidup ini sebenarnya. Bagi yang sudah mulai mulai mengabdi, tingkatkan pengabdianmu! Tujuan tulisan ini akan tercapai jika kita semua menyadari bahwa kita dapat menyadari bahwa ‘Oh iya, apa yang saya lakukan ini sebenarnya tidak sia- sia. Jika saya bersungguh- sungguh melaksanakannya dengan tulus untuk menyejahterakan diri sendiri, menyenangkan orang lain dan mengabdi kepada Tuhan, saya yakin perbuatan ini akan menjadi suatu pengabdian yang terindah’.

Manusia = Makhluk Pengabdi. Sekarang setuju kan? Kita lihat bahwa sebenarnya segala sesuatu yang kita lakukan dapat merupakan wujud pengabdian kita. Tapi perbuatan yang kita lakukan dapt menjadi pengabdian terbaik maupun pengkhianatan terburuk. Kalau seorang pakar toksikologi mengatakan, ”Semua tergantung pada dosis”, maka saya berkata, “Semua tergantung pada niat”.

8_eMBeRlEAf_8

Pengikut